Renjana Terhempas Part 4

Mengapa Kau Selemah Itu

Jarak dari Koperasi Mahasiswa di Kampus Pusat ke rumahku, seharusnya bisa ku tempuh dalam waktu singkat. Namun entahlah, kenapa jalannya serasa lambat sekali. Isak tangis kami berdua yang menghalangi untuk membawa laju sepeda motorku lebih kencang.

“Sagung, kenapa kamu memilih jalan pintas itu. Waktumu tinggal selangkah lagi, pasti bisa menyusul kami.” Aku merutuk sendiri.

“Hati-hati Ranti, itu ada yang kendaraan yang akan menyeberang.” Judith mengingatkanku untuk fokus berkendara. Uft, hampir saja. 

Kami tak pulang ke rumahku dulu, tapi langsung ke rumah Sagung yang hanya beda tiga blok. Terlihat ramai orang yang melayat, sebagian besar orang sekitar perumahan.

Aku dan Judith menemui keluarga Sagung. Kakak perempuannya menemani kami saat melihat jenazah. Disingkapnya kain penutup wajah almarhumah. Jelas terlihat wajah pucatnya dan kesedihan.

Aku dan Judith tak bisa menahan tangis yang membuncah. Senguk sengak kami berdua, hingga dibimbing kakak almarhumah untuk duduk.

“Keluarga tidak menyangka Sagung mengambil jalan pintas ini. Tadi pagi sehabis sarapan, dia membersihkan halaman depan. Katanya, tanaman di sini kurang subur dan dia punya obat untuk menyuburkannya. Tanaman yang tidak sehat harus dicabut dan dibuang.” Mbak Gung Eny mulai menceritakan kejadiannya.

“Apakah dia terlihat aneh saat itu, Mbak?” tanya Judith.

“Hanya sedikit diam saja, lalu mengeluh lelah saat dia merampungkan pekerjaannya. Dia mandi lagi dan keramas, selesai berkebun, kemudian masuk ke kamarnya. Saat itulah bencana dimulai.” 

Mbak Gung Eny menarik nafas dalam.

“Ternyata cairan yang dia pegang selama berkebun itu adalah cairan yang dipakai untuk mengakhiri hidupnya. Itu racun… tanaman. Belakangan baru kami tahu, dia sempat meminta cairan itu ke pacarnya, tiga bulan yang lalu.” 

Kini Mbak Gung Eny terisak dan sesak terasa di dada kami.

Aku teringat akhir-akhir ini banyak hal yang dikeluhkan Sagung. Mulai dari ditolaknya permohonan untuk ikut KKN, karena jumlah SKS yang belum memenuhi syarat. Penyakit anemia yang menggerogoti tubuh dan mengganggu aktivitas kesehariannya serta selalu dianggap lemah oleh keluarga, teman, pembimbing akademis, juga pacarnya. Bahkan kabar terakhir, dia merasa pacarnya berselingkuh. 

“Kenapa kami tidak mendengar saat dia mengerang kesakitan. Kami semua berada di dapur menyiapkan canang untuk tilem besok.” Kakak Sagung ini menyesali kejadian yang tidak bisa dicegahnya. 

“Semua sudah terlambat, dia memilih untuk keluar dari.masalah hidup dengan caranya. Mudah-mudahan Tuhan menempatkan dia di tempat yang layak. Dia anak baik dan adik termanis bagi kami. Sayang kami tidak menjaganya dengan baik.”

Aku memegang erat tangan Mbak Gung Eny untuk menguatkannya. Aku juga menyesal karena sejak mempersiapkan KKN belum pernah berjumpa dengan Sagung. Mungkinkah dia menganggap aku menjauhinya. 

Maafkan aku, Gung. Semoga engkau damai di tempat yang baru, tanpa rasa sakit dan derita lagi.

wisataliterasi/hadiyatitriono

0Shares

Tinggalkan Balasan