Saat masih kumpul bersama, sering terjadi kesalahpahaman. Namun, kala salah satu pergi, rindu dan rasa kasih sayang baru terasa. Inilah hidupku.
Dua orang terkasih dalam keluargaku telah berpulang. Pertama bapakku, di tahun 1992, saat aku sedang menyelesaikan skripsiku. Aku sedih teramat dalam. Selain karena aku anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, bapak tidak bisa melihatku diwisuda.
Kematian bapak menoreh penyesalan yang dalam sepanjang hidupku. Menjelang bapak koma, aku telah melakukan tindakan yang menyakiti hati beliau. Semula kukira hati ini yang sakit karena perlakuan bapak pada pilihan pujaan hatiku. Namun saat penyesalan itu hadir, baru sadar bahwa ungkapan perasaan yang ku tuang di secarik kertas itu, penuh kata-kata yang tak pantas ditujukan pada orang tua sendiri. Bapak dan ibu sudah merawatku sejak lahir hingga dewasa. Mengapa harus dipatahkan oleh kehadiran dia saat aku telah dewasa.
Bapak hanya meminta untuk mempertimbangkan keputusanku memilih dia, tanpa mengorbankan hal yang hakiki dalam hidup. Aku buta saat itu, dan pantas disebut durhaka. Hingga detik terakhir hembusan nafas bapak, aku tak pernah punya kesempatan untuk memohon ampun. Sampai sekarang, rasa sesal dan sesak dalam dada tetap menggelayut.
“Bapak, ananda mohon maaf atas kebodohan yang telah kulakukan. Mohon ampun ya Allah, telah kusakiti orang tua kandungku hingga tak sempat aku bersujud memohon maaf sampai akhir hayatnya.”
Semoga Allah membuka pintu maaf untukku, karena perjalanan hidupku sampai hari ini akan penuh berkah bila ada ridho orang tua. Ridho Allah adalah ridho orang tua.
Kehilangan kedua yang juga menyayat hati adalah, berpulangnya adik tercinta. Peristiwa ini baru terjadi lima bulan yang lalu, tepatnya Maret 2020.
Aku ingat, saat kena serangan stroke pertama, ku temani dia di rumah sakit dari pagi hingga pagi lagi, selama lima hari. Istrinya bukan tak mau menemani di rumah sakit, tapi kondisi anak mereka lebih membutuhkan perhatian sang ibu.
Aku sempat jengkel dan rasa itu terbawa hingga dia sehat dan mulai hidup normal. Pernah tercetus ucapan yang tidak pada tempatnya, bahwa kalau dia rawat inap lagi, nggak akan kuluangkan waktu untuk menemaninya.
Mungkinkah ucapan ini membekas di hatinya, hingga saat dia kutemui di ruang IGD Jantung tak terucap kata agar aku menemaninya. Kepulangannya cukup mengejutkan, karena malam sebelum hembusan nafas terakhirnya, adik masih melakukan kontak video. Walau tanpa kata, dia masih bisa melambaikan tangan dengan senyum semringah.
Allah punya kuasa atas hidup mahluknya. Kematian tak bisa ditawar atau ditunda seperti yang kita mau. Peristiwa yang telah kualami tersebut memberi pelajaran untuk menebalkan iman, menjaga lisan, lebih ikhlas dan tenggang rasa. Jangan sampai aku kehilangan orang terdekat dengan ganjalan sesudahnya.
wisataliterasi/hadiyatitriono