Sepenggal tulisan di FaceBook seorang teman menarik perhatianku.
“Menyakiti seseorang itu ibarat kamu melempar batu ke lautan. Gampang banget.”
Aduh, kena lagi kali ini. Aku ini tipe pemarah, gampang emosi, mengungkapkan segala kekesalan dengan ribuan kata yang tak pantas. Sungguh, sering aku tak mampu menjaga lidah dan sikapku.
Sudah berapa orang yang menjadi sasaran amarah, dan aku merasa ringan saja melakukannya. Bagiku itu meringankan beban, melegakan perasaan. Sungguh, semua dilihat dari sudut pandang diri sendiri. Lalu, kenapa tak terpikirkan perasaan orang yang menerima perkataan kasar atau tatapan amarah bagai mata iblis dari aku.
Sebelum ungkapan kata temanku itu, seorang ustad yang ceramah dalam pengajian taklim pernah menyampaikan suatu riwayat. Dikatakan riwayat dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah, “Berilah aku nasihat.”
Rasulullah pun bersabda, “Jangan engkau marah.”
Orang itu kembali mengulang pertanyaannya, dan tetap dijawab “Janganlah engkau marah.”
Rasulullah juga bersabda bahwa, “Barangsiapa menahan amarahnya, padahal ia sanggup untuk melampiaskannya, niscaya Allah akan memanggilnya dihadapan semua mahluk pada hari kiamat kelak, dan mempersilakannya untuk memilih bidadari mana saja yang ia inginkan.”
Jadi, kalau sampai saat ini aku masih mengumbar amarah atau makian, bukan hanya menoreh luka yang teramat dalam bagi orang yang kujadikan sasaran, tapi juga menandakan kerdilnya diri yang tak mau menerima nasehat kebaikan. Kalau menunggu saja sembari menunggu hidayah untuk berubah, tentu saja aku tak tahu kapan batas waktu nafas terakhirku. Saat itu tiba, aku tak sempat untuk menjadi lebih baik.
Astaghfirullahaladziem.
Bersegera untuk menjaga lisan dan sikap, agar tak ada lagi yang terluka, dan tak terulang kembali masa pahit itu. Bekas paku yang tercabut memang akan masih terlihat lubang. Namun bila itu karena perlakuanku pada kalian, mohon dibukakan pintu maaf dan kucoba untuk tidak menancapkan paku lain yang menyakitkan.
wisataliterasi/hadiyatitriono