Lebaran Tanpa Belahan Jiwa

“Ibu mau dibuatkan masakan apa saat lebaran nanti?” tanyaku pada ibu mertua.

“Masakan lebaran seperti biasanya Yun. Opor, lodeh labu, sambal goreng ati dan sate lilit. Itu masakan wajib kesukaan Budi kan.”

Kata terakhir yang ibu ucapkan langsung mengingatkanku pada lebaran tahun sebelumnya. 

Budi, putra ibu adalah suamiku. Lebaran tahun lalu ternyata menjadi lebaran terakhir baginya. 

Baru dua bulan dia berpulang karena serangan jantung, meninggalkanku dan anak kami yang berkebutuhan khusus. Sungguh satu pukulan yang teramat pedih, saat ku sadar suami pergi untuk selamanya.

Ibu mertua saat itu pun histeris saat diberi kabar, putranya yang tinggal bersamanya sejak lahir hingga menikah denganku, berpulang begitu cepat.

“Duh Gusti Allah. Anak itu seharusnya masih hidup, aku yang semestinya Kau panggil!

Tak ada yang bisa kukerjakan di dunia dengan keadaanku yang sudah renta begini. Kalau dia, anakku, masih muda, kuat dan masih harus melihat putranya tumbuh normal.”

Ah, penggalan kisah itu kembali membayang di pelupuk mata. Kini kenyataan hidup harus aku jalani. Merawat buah hati kami, dan ibu mertua yang sepuh. 

Esok sudah Idul Fitri.  Belanjaan untuk lebaran sudah siap untuk dimasak. Ada adik dan kakak suamiku yang membantu masak, jadi masakan sudah sipa sebagian saat masuk waktu magrib. Esok sesudah subuh tinggal menambahkan santan dan mematangkannya.

Cepatnya kami memasak juga karena tidak memasak dalam jumlah banyak seperti tahun sebelumnya. Ibu sebagai yang dituakan atau orang sepuh, banyak dikunjungi orang saat lebaran, dan hari pertama lebaran itu, hari terpadat tamu yang datang, pasti akan disuruh ibu menikmati hidangan lontong dengan lauk pauk ala lebaran. Saat seperti ini, suamiku mampu menghadirkan suasana lucu dengan celetukan atau cerita fiktif karangannya. Hal ini yang menyebabkan dia banyak memiliki teman.

Esok pagi aku harus bangun lebih pagi. Ibu mertua ingin ikut melaksanakan ibadah sholat Ied. Anak semata wayangku juga melonjak senang saat kuberitahu kalau dia harus tidur awal supaya bisa bangun lebih pagi dan ikut sholat Ied.

Lebaran tahun ini, umat muslim melakukan sholat Ied Fitri di rumah masing-masing. Kakak ipar bersedia untuk menjadi imam sholat. 

Kami singkirkan meja kursi di ruang tamu, untuk melaksanakan sholat Ied. Sajadah pun tersusun rapi di lantai. Ibu mertua sudah rapi dengan mukenanya dan duduk di atas kursi roda. Wajah beliau tampak sendu, namun masih terbersit senyuman saat mendengar gema takbir berkumandang dari media audio.

Putraku juga sudah siap, duduk tenang dikursi rodanya. Saudara suamiku yang rumahnya dekat dengan kami, sudah siap pula. Semua sudah rapi dan siap berjamaah.

Ya Allah, lebaran kali tak hanya sunyi tanpa pendamping hidupku, tapi juga tanpa kunjungan dari kerabat, teman, dan bahkan tetangga rumah.

Ibu mertua memanggilku, “Kamu temui suamimu sana. Kirim doa dan sampaikan selamat Idul Fitri.”

Ku peluk ibu yang sudah kuanggap seperti ibu kandung sendiri. “Ya Bu, Yuni sebentar lagi ke makam.”

Walau anakku tak bisa bicara, tapi sorot matanya menunjukkan bahwa dia rindu ayahnya. Saat kusampaikan kalau akan ke makam, senyumnya mengembang, seolah menitipkan pesan untuk ayahnya.

“Dedek Yudi mau titip pesan buat Ayah, nanti Bunda sampaikan ya.”

Sekali lagi senyumnya lebar dan menatapku.

Andaikan bisa kuperlihatkan wajah senang anakku pada ayahnya, dengan mengajaknya ke makam. Ah, kondisi tubuhnya tidak memungkinkan untuk ke sana. Semoga Allah tampakkan hari bahagia ini dan rasa rindu anak istrinya pada almarhum suamiku.

wisataliterasi/hadiyatitriono

0Shares

Tinggalkan Balasan