Menjadi anak perempuan tunggal di antara tujuh saudara sekandung yang laki-laki, terdengar dan terlihat menyenangkan ya. Tanggapan orang untuk kondisi seperti itu, “Wah bodyguardnya banyak, pasti jadi anak kesayangan nih, anak manja dan tercantik di rumah.”
Semua nggak salah sepenuhnya. Berada di antara lima kakak lelaki dan dua adik laki-laki juga, diri ini merasa aman terlindungi. Kalau dianggap aku ini anak kesayangan, ah salah itu. Justru paling banyak direpotkan untuk membantu ibu mengurus anak laki-lakinya.
Manja juga nggak, karena jumlah anak bapak dan ibu yang cukup banyak, sulit untuk memberi prioritas lebih pada satu anak, meskipun dia anak perempuan satu-satunya. Tentu saja aku cantik, karena saudaraku semua dan bapak ganteng. Hmmm, kalau ibu jelas lebih tua dan mulai memudar kecantikannya.
Sepanjang hidup bersama bapak, ibu dan saudara kandungku, banyak kenangan terserak. Kenangan terindah dan kelabu berbaur dalam hidupku. Aku mengungkapkannya dari sudut pandang sendiri yang mengalaminya.
Terukir kenangan indah saat bapak membacakan bait puisi karyanya sendiri. “Ini puisi yang sederhana, tapi kamu akan meneruskannya kelak.”
Bukan hanya puisi yang beliau berikan, tapi membacakan dongeng dan karya sastra juga dilakukan untuk anaknya.
Akhirnya kebiasaan itu melekat dalam memori hidupku. Seiring waktu, walau sempat vakum tidak menyentuh karya sastra apapun sejak bapak meninggal, kini aku perlahan mencoba berkecimpung lagi dalam dunia sastra.
Berpulangnya bapak ke Rahmatullah, benar-benar membuatku remuk redam. Inilah kenangan kelabu yang kusesali hingga kini. Bayangkan, betapa besar dosaku sebagai anak yang tidak peduli bahkan cenderung memusuhi orang tua sendiri hingga tak diberi waktu oleh-Nya untuk memohon maaf hingga nafasnya terenggut.
Benar-benar hancur perasaan ini. Semua karena ego dan kebodohanku. Semua ketololan yang aku ciptakan sendiri, hanya demi kesenangan duniawi semata. Penyesalan tak berujung di dunia, dan berharap ada pertemuan nanti di akhirat agar dapat aku memohon maaf pada bapak.
Bapak dan ibu adalah panutan. Namun langkahku yang salah, mengaburkan arti perhatian mereka dalam hidup anak perempuannya. Si gadis kecil telah tumbuh menjadi dewasa, merasa sudah memiliki pemikiran sendiri untuk mengatur hidupnya. Maka terbesit praduga pada mereka, agar tak mencampuri urusan anaknya. Caranya adalah memutus komunikasi. Itulah yang terjadi dan kusesali hingga kini.
Ya Allah, inikah balasanku pada pengorbanan dan limpahan kasih mereka. Picik, bodoh, dan durhaka. Ampuni hamba, Ya Allah. Sampaikan pada bapak, aku menyesali dan mohon maaf. Beri aku ketenangan dan ridho-Mu, agar kehidupan ini dapat kujalani tanpa beban.
Nyatanya, beban kenangan kelabu masih melintas walau kenangan manisnya juga tak lekang oleh waktu.
wisataliterasi/hadiyatitriono