“Ibu lelah Nak. Kehidupan sekarang ini terlalu berat, dan Ibu sudah tak kuat lagi menjalaninya. Bila saja bunuh diri itu tidak berdosa, pasti akan segera Ibu lakukan.”
Astaghfirullah. Kalimat itu sudah terlalu sering ibu ucapkan dan kami dengar. Rasa tertekan ibu lebih dipicu karena beban utang yang dipikulnya. Kami anaknya tidak tahu pasti, bagaimana bisa terjadi utang yang bertumpuk-tumpuk. Ibu terlilit riba dan kini hasil berdagangnya hanya untuk mencicil pinjaman yang entah kapan akan lunas. Semua gali lubang tutup lubang.
Kami belum cukup umur untuk bisa membantu mencari tambahan uang. Posisi ayah tak bisa diharapkan dapat meringankan beban ibu. Kemampuan keuangannya tak cukup membantu. Pengeluaran ibu yang besar pasak daripada tiang, baru dirasakan ayah saat beberapa orang menagih ke rumah. Ayah marah? Dia tak mampu berkata-kata lagi.
Kini, usaha dan kerja apapun yang ayah lakukan, masih belum mengimbangi kewajiban yang harus dibayar. Keinginan ibu untuk segera pergi dari dunia ini makin sering dilontarkan. Ya Allah, ampuni kami.
Kami menjalani rutinitas dengan rasa hampa, tanpa kehangatan sebuah keluarga. Hingga suatu saat, teman ayah yang jauh tempat tinggalnya berkunjung ke rumah. Mereka berdua asyik ngobrol, dan tak lama ibu pun ikut menemani. Itulah awal perubahan ibu.
Entah apa yang mereka diskusikan saat itu. Namun, keesokan harinya, ibu terlihat tenang dan lebih khusuk beribadah. Bicaranya pun lebih pelan tanpa emosi meledak seperti biasanya. Kami mencari tahu dengan bertanya pada ayah.
“Iya, ibu kalian sedang menenangkan hati serta pikirannya dengan lebih dekat pada Yang Maha Besar. Ayah tidak bisa membantu, tapi Allah pasti bisa. Teman ayah tempo hari itu adalah contoh orang yang pernah mengalami hal seperti yang ibu alami sekarang. Dia menginspirasi ibu untuk keluar dari masalah.”
“Manusia pada akhirnya akan mati, menghadap kepada Sang Pencipta. Hitungan umur seseorang sudah Dia tetapkan, maka tak seorangpun yang boleh mendahului maut. Untuk kembali pada-Nya pun harus dengan bekal yang cukup. Bila masih diberi-Nya kesempatan untuk mengurangi dosa-dosa kita, gunakanlah. Saat kita dipanggil, maka lunaslah semua kewajiban kita di dunia.” Itu yang disampaikan teman ayah.
Dia rela untuk melepas harta miliknya agar bebas dari jerat utang. Lebih baik memulai dari nol dengan rezeki yang lebih berkah. Inilah yang akan ayah dan ibu lakukan, demi hidup yang penuh rahmat dan menanti kematian dengan indah.
Kami menangis haru, menemui ibu dan memeluknya erat. Ibu sesenggukan dan meminta maaf atas perlakuannya pada kami.
“Ibu, justru kami yang seharusnya meminta maaf, dan kelak akan berjuang, agar kehidupan sebelum mati ini lebih rahmatan lil alamin.”
Wallahu alam bisawab.
wisataliterasi/hadiyatitriono