Gaung Ajeg Bali mulai terdengar sekitar tahun 2002, saat peresmian Bali TV . Saat itu Gubernur Bali, I Dewa Made Beratha, mendorong pemirsa untuk mengajegang adat dan budaya bali.
Kata “ajeg” mengandung makna kuat, tegak, dan dalam konteks ini terpusat pada budaya Bali.
Walaupun gerakan ini mengarah pada konteks pengamalan ajaran dan gerakan agama Hindu, tujuan mulia yang bisa berlaku umum adalah Bali yang kokoh, teratur, tegak, stagnan, mantap, tidak berubah.
Menjaga Bali suatu tindakan yang harus disegerakan, melihat perkembangan pariwisata di daerah ini yang tentu saja banyak budaya luar masuk dan mempengaruhi keberadaan budaya setempat. Hal lainnya adalah ikon wisata Bali yang menampilkan keunikan budaya yang dimiliki. Bila semua itu perlahan terkikis tanpa upaya untuk melestarikannya, maka akan berpengaruh besar pada sektor pariwisata. Apa yang bisa dijual?
Bila segi ekonomi yang menjadi ukuran menjaga ajeg Bali, juga kurang tepat, meskipun tidak dipungkiri bila pertumbuhan ekonomi daerah ini karena pariwisata. Harapan terbesar adalah penduduk yang ada di Bali turut berpartisipasi melestarikan peninggalan leluhur.
Tanggung jawab itu ada di pundak setiap anak bangsa Indonesia. Ditengah derasnya arus globalisasi terutama teknologi, jangan sampai kita terlena dan menyingkirkan akar budaya yang terkadang dianggap kuno oleh generasi muda sekarang. Seharusnya kecanggihan teknologi, terutama bidang informasi digital yang terus berkembang, dapat dimanfaatkan sebagai sarana yang mampu mengembangkan akar budaya lebih cepat tersampaikan pesan untuk berbuat sesuatu demi kelestariannya.
Beberapa tokoh telah memulai, bahkan jauh sebelum gaung ‘ajegang baline’ merebak. Salah satunya adalah Bapak Made Taro bersama putra sulungnya bernama Gede Tarmada. Merintis Sanggar Kukuruyuk yang berorientasi pada pelestarian dongeng atau cerita rakyat berpadu permainan rakyat. Pelaku cerita maupun permainannya adalah anak-anak usia sekolah dasar yang merupakan generasi muda di Bali. Siapa lagi yang akan mengikuti jejak langkah beliau, kalau bukan kita, sebagai anak bangsa.
Referensi :
Melawan Wacana Ajeg Bali. Abdul Karim Abraham. https://www.kompasiana.com/iboy/melawan-wacana-ajeg-bali_551713b3a333114d06b6595b. 20 Agustus 2012 09:36 | Diperbarui: 25 Juni 2015 01:31 (diakses terakhir 11 Juli 2020)
wisataliterasi/hadiyatitriono